INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
PADA ASPEK POLITIK
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Rikza
Chamami,
M.SI

Disusun:
Ahmad Turmudzi (113611016)
Muhamad Khanif Syarifudin (123611005)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
PADA ASPEK POLITIK
I.
PENDAHULUAN
Orang jawa adalah
orang yang religius, sejarah membuktian bahwa sejak sebelum islam datang ke
jawa mereka sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap
kerajaan meninggalkan tempat-tempat pemujaan, misalnya candi-candi bagi umat
hindu dan masjid-masjid bagi umat islam.
Islam masuk ke Jawa dengan
cara damai tanpa adanya unsur kekerasan. Salah satu teori tentang masuknya
Islam yang lain adalah bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur Gujarat
yang memiliki nuansa mistik sebagaimana kecenderungan orang Jawa. Dengan
melihat kedua teori tersebut dapat dimaknai bahwa Islam sangat mudah diterima
di Jawa. Islam di Jawa juga mempengaruhi berbagai bidang, semisal politik.
Pengaruh Islam di Jawa pada
bidang politik menjuruskan pada kegiatan umat untuk usaha mendukung dan
melaksanakan syari’at Allah SWT. Melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan.
Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari politik yang
dijalankan oleh para penguasa kerajaan pada masa itu masyarakat jawa juga mengalami perubahan
struktur yang mana perubahan itu dibagi menjadi empat tingkatan yaitu para
raja, bupati, kepala desa dan rakyat jelata.
Raja mempunyai kedudukan
yang tertinggi, raja berkuasa karena ia dianugerahi (wahyu khusus bagi calon
raja) oleh Tuhan yang dinyatakan dalam bentuk cahaya. Hal ini kemudian
menyebabkan orang jawa memilih pemimpin bukan atas dasar rasional tetapi
emosional. Oleh karena itu kharisma lebih penting daripada kemampuan dalam
memimpin. Wajar jika pemimpin kharismatik lebih disukai daripada pemimpin yang rasional.[1]
II.
PERMASALAHAN
A. Bagaimana corak politik jawa sebelum
kedatangan islam?
B. Bagaimana proses kedatangan Islam dan
pengaruhnya terhadap politik?
C. Bagaimana budaya politik Jawa?
D. Bagaimana Interrelasi politik Jawa dengan
Islam?
III.
PEMBAHASAN
A. Corak politik jawa sebelum kedatangan islam
H. Burger dalam
bukunya perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat jawa menulis
bahwa struktur masyarakat jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para raja,
bupati, kepala desa, dan rakyat jelata. raj menjadi kedudukan tertinggi.
Dalam Babad
Tanah Jawa ditemuan apa dan siapa raja seperti yang diterangkan oleh
pangeran puger (paku buwono I), dimana segala sesuatu ditanah jawa, bumi tempat
hidup, air yang diminum, rumput, daun, dan lain-lain yang ada dibumi adalah
milik raja. Raja adalah wakil atau penjelmaan tuhan. untuk lebih meyakinkan diri
bahwa kedudukannya adalah sah dan aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan
pusaka yang ada padanya dan yang dapat menjadi sumber kesaktian bagi dirinya
dan kewibawaan bagi pemerintahnya. Raja berkuasa karena ia dianugerahi wahyu
kedaton (wahyu khusus bagi calon raja) oleh tuhan, yang katanya dinyatakan
dalam bentuk cahaya.[2]
Melihat begitu
besar kekuasaan raja, maka para pujangga menyebutnya gung binathara, bahu
dendha nyakrawati (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan
penguasa dunia). maka dari itu raja dikatakan wenang wisesa (amisesa) ing
sanagiri (berkuasa diseluruh negeri). menurut doktrin atau konsep kekuasaan
jawa, raja berkuasa mulak. tetapi padanya terdapat tanggung jawab raja itu
dalam kalimat berbudi bawa laksana, ambeg adil para marta (meluap budi
luhurnya, bersikap adil terhadap sesama). Dalam perkataan lain raja anjaga
tata tentreming praja ( menjaga supaya hidup teratur, sementara rakyat
dapat hidup dengan tentram).[3]
Inilah yang kemudian menyebabkan orang jawa memilih
memimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. oleh kerena itu,
kharisma lebih penting dari pada kemampuan.[4]
Mataram sering disebut kerajaan feudal. Masyarakat
feudal adalah masyarakat yang tersusun berdasarkan pemilikan tanah yang luas. Pemilik
tanah yang luas adalah raja (maharaja atau kaisar). Kalau ia tak mau kehilangan
seluruh tanah miliknya, ia harus mau membagi-bagi tanahnya dengan orang lain,
yang dapat diperintah dalam ikatan feudal, penguasa atasan atau tuan feudal,
membagikan (memberikan) sebagian tanah miliknya kepada raja atau penguasa bawahan
yang disebut bupati. Sebagai imbalannya raja bawahan memberikan kesetiaan
kepada raja atasan, antara lain dalam bentuk pasukan dan upeti. Kalau raja
atasan melakukan gerakan ekspansi, maka raja bawahan dengan pasukannnya,
mengikuti. Untuk mengerjakan tanah, raja bawahan menyewakan tanah itu kepada
petani, dapat diserahkan kepada lurah atau bekel.[5]
Dalam sejarah mataram terdapat ajaran atau doktrin raja
yang binathara, bahu dhendha nyakrawati. berbudi bawa laksana, ambeg adil
paramatha. Menurut konsep kekuasaan jawa kalau konsep itu dipraktekkan
secara utuh, meski kerajaan raja itu absolut, tidaklah menjadi beban
ketidakadilan bagi rakyat. Namun karena konsep kepemimpinan yang ada corak
absolut, kekuasaan raja-raja mataram juga absolut.[6]
Kekuasaan politik dan status yang dimiliki oleh
bupati jawa mengalami puncak perkembangannya selama periode kertasura dikerajaan
mataram. di mata penguasa kolonial para birokrat itu adalah pemimpin rakyat,
yaitu mereka yang memegang kekeuasaan politik yang sebenarnya. terbukti disini
kita memiliki birokrasi patrimonial. Indikator birokrasi demikian itu adalah
bahwa penguasa lokal bukan hanya pengikut dari pemegang penguasaan pusat secara
pribadi, melainkan juga memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. ini meliputi
bukan hanya mereka yang ada pertalian darah, melainkan juga pertalian ipar. Struktur
birokrasi yang demikian itu adalah instrumental bagi penguasa pusat karena
kepatuhan penguasa lokal selalut terjamin. Akibatnya, polotik lokal sangat
dipengaruhi oleh perjuangan kekeuasan pusat.[7]
Suatu hal yang menarik dalam sejarah mataram ialah
tidak pernah ada kejadian pergantian tahta pada waktu raja yang mendahului masih
hidup. itu bererti semua raja memerintah sampai meninggal.[8]
Salah satu ciri kekeuasaan raja besar adalah luas
wilayah kerajaan. dalam bahasa jawa dikatakan ageng negarinipun, wiyar
jajahanipun (besar negaranya, luas jajahannya). Dalam budaya mataram rakyat
(penduduk) dikenal sebagai kawulo dalem (hamba raja). Raja berwenang
mewajibkan semua pemuda berperang sebagai prajuritnya. Dalam birokrasi kerajaan
sudah pasti raja menjadi puncak dari piramida kekuasaan. Semua pejabat kerajaan
dibawah raja disebut abdi dalem (pegawai raja). Birokrasi itu ada yang
menguasai keperluan raja dan keluargannya. Pembesarnya adalah patih lebet
(patih dalem). Lainyya adalah birokrasi itu ada yang menguasai hal-ihwal
penyelenggaraan Negara. pembesarnya adalah patih njawi (patih luar).
Patih luar atas nama raja juga membawahi para
bupati. Ditingkat kabupaten ada juga patih yang memimpin birokrasi kabupaten. Birokrasi
kabupaten sesungguhnya bukan bawahan raja, melainkan bawahan bupati.[9]
Orang jawa adalah orang yang religius. Sejarah
membuktikan bahwa sejak sebelum islam datang ke jawa, mereka sudah mempunyai
perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan selalu meninggalkan
tempat-tempat pemujaan. Sebagai makhluk ciptaan tuhan, orang jawa harus
melaksanakan trisila, yaitu sadar, percaya, dan mituhu. [10]
Orang yang mempunyai sikap hidup yang feodalistis.
mereka sangat hormat dengan keluarga pangeran, terhadap abdi dalem. disamping
itu orang jawa memiliki rasa bangga terhadap kebudayaan nenek, khususnya
kebudayaan keraton.[11]
B. Proses Kedatangan Islam dan Pengaruhnya
Terhadap Politik
Sebagaimana yang ditulis oleh Frans Magnis
Suseno menulis bahwa waktu Marcopolo dengan ayah serta pamannya tinggal
beberapa bulan di Sumatera Utara utusan Kubali Khan pada tahun 1292, ia
mencatat bahwa sebuah kota pesisir yang bernama Perlak baru saja memeluk agama
Islam. Pada tahun 1414 kerajaan Malaka yang didirikan di pantai barat Malaya pada
abad XIV masuk agama Islam. Kesultanan Malaka menjadi pusat penyebaran agama
Islam sampai direbut oleh kaum Portugis pada tahun 1511. Pedagang-pedagang dari
Arab dan Gujarat, juga orang Jawa yang berkedudukan di Malaka, membawa agama
Islam ke kota-kota pelabuhan pantai utara pulau Jawa. Makam muslim pertama di
Jawa berasal dari tahun 1419. Pada saat yang sama kekuasaan Majapahit semakin
merosot. Penguasa-penguasa kota pesisir Utara seperti Cirebon, Tuban, Jepara,
Gresik dan kemudian di Madiun memeluk agam Islam.[12]
Agama Islam tanpa kegoncangan-kegoncangan
besar dapat diterima dan diintegrasikan kedalam pola budaya, sosial, dan
politik yang sudah ada. Kepercayaan baru mendapat pewaris-pewaris penting dalam
diri kyai-kyai dari kaum ulama. Mereka mempertahankan sebagian besar budaya
Hindu-Jawa (dalam tradisi Jawa pewarta-pewarta agama Islam, para wali, bahkan
sebagian dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan) dan ciri-ciri agama islam
mencocokkannya tanpa kesulitan kedalam pandangan dunia Jawa, kebudayaan itu
semula terbatas pada kota-kota utara Jawa, tetapi lama kelamaan melalui
pedagang-pedagang juga mulai berakar dalam kota-kota lain dan akhirnya juga
dibeberapa daerah pedalaman Jawa.
Pada akhir abad XVIII hampir seluruh pulau
Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat
Islam yang paling bersar adalah kota-kota pesisir utara, disitulah titik berat
keberadaan santri juga semua kota dipedalaman Jawa terdapat kampung-kampung
santri. Kebudayaan santri tersebut berhadapan dengan kebudayaan keraton dan
pedalaman Jawa. Walaupun keraton secara resmi memeluk agama Islam tetapi dalam
gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol. Keraton-keraton itu
menjadi pusat kebudayaan klasik dengan tarian-tarian dan pertunjukan wayang
dengan gamelan dan ritual keagamaan yang memang diadakan pada hari-hari Islam.[13]
C. Budaya Politik Jawa
Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan
Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa
terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara
lain:
1. Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan
diri atau cenderung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain
dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung.
Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa,
yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle,
smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan
secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan
membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa
pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan
menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar,
coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam
ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri”
yang dualistis.
Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus,
kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama
berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah
diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang
pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan
perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang
setara namun belum dikenalnya dengan baik.
2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku
yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang
diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa
tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan
diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang,
tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer.
Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan
membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya.
Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain.
Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah
laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut
tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih,
ketidaktulusan dan penuh emosi.
Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat
Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau
orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang
yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action.
Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan
objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini,
terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting
menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi
seseorang.
3. Konsep Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara
operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang
materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang
menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya
hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak
atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha
menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung
membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki
kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi
kewajiban itu pada orang lain.
Dari kualitas kultural yang tergambar secara
singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan
sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial
politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat
suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak
ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada
kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung
begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem
patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini,
keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam
masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak
orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani
tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58).[14]
D. Interrelasi Politik Jawa dengan Islam
Simbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak
menyolok pada gelar raja-raja Jawa Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah,
Sayyidin Panatagama, Tetunggul Kalifatul Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya. Gelar
Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada
masa transisi antara dari kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak.[15]
Sunan giri berkuasa dalam keadaan vakum.
Pada
masa ini tidak ada pemimpin yang berdaulat, baik dari raja hindu maupun islam.
Kerajaan majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang
nantinya Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu 40 hari
pasca keruntuhan majapahit tahun 1478 M oleh serangan seorang raja Grindera
wardhanadan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, sunan Giri
menyerahkan kedaulatan kepada raja islam yang permanen yaitu raden fatah, dialah raja dari kerajaan islam Demak.[16]
Ketika
sunan Giri hanya mengantarkan keadaan transisi menuju berdirinya keadaan islam
demak. Buktinya dia hanya berkuasa 40 hari setelah keadaan mapan kekuasaan
diberikan kepada Raden Fatah yang masih keturunan raja Brawijaya Kertabumi.
Jadi jika kemudian para wali yang tampil sebagai penguasa Negara atau pemimpin
politik itu hanya bermotivasikan “yekti mungam rihayu” bukan tujuan dan tugas
pokok mereka. Sebagaimana Nabi Muhammad menjadi kepala Negara disamping menjadi
rosul. Tugas wajib beliau adalah menyampaikan risalah bukan pemimpin politik
adapun kalau kemudian beliau diangkat sebagai pemimpin Negara adalah karena
kemampuan beliau dalam memimpin diakui oleh umat, baik muslim maupun non muslim
ketik itu.
Simbol
sinkretisme politik islam jawa juga terdapat pada raja-raja jawa yang dipegang
Sri Sultan Hamengkobuwono selain sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai
sayidin panatagama (pemimpin agama). Dengan demikian seorang raja juga islam
karena tidak mungkin non islam menjadi sayidin panatagama, disini adalah penata
agama untuk islam. Inilah strategi politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu
proses Islamisasi dengan cara yang amatarif, cultural, walaupun
sinkretis.[17]
IV.
KESIMPULAN
Dalam perpolitikan nasional Indonesia
sinkretisme politik islam jawa tetap berlangsung, symbol- symbol dan istilah
jawa menjadi symbol-symbol poltik nasional. Budaya politik jawa mempunyai
sikap-sikap, adapun sikap-sikap itu antara lain:
1.
Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan
diri atau cenderung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain
dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah atersinggung.
2.
Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku
yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang
diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa
tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan
diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang,
tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer.
3.
Konsep Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara
operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang
materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang
menyangkut dimensi moral.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun,
kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami masih banyak kekurangan, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaaan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans . Cederroth , Sven, Kepemimpinan
jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2001.
Burger,
DH.Perubaha-perubahnan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhatara
Karya Aksara, 1983.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme
dalam Budaya Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Jamil,
Abdul.Amin, Darori. dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:Gama
Media, 2000.
Magniz, Franz.Etika
Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Saksono, Widji.Mengislamkan
Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995.
BIODATA PEMAKALAH
Nama : Ahmad Turmudzi
NIM : 113611016
Jurusan/
Prodi : Pendidikan Fisika
TTL : Demak,12 Februari
1992
Pendidikan : MIN Kedungwaru Lor,
Karanganyar, Demak
SMP N 1 Karanganyar, Demak
MAN 2 Kudus, Prambatan Lor,
Kaliwungu Kudus
S1 UIN Walisongo Semarang
Alamat : Jl.
Anggrek Kedungwaru Lor
No. Telp : 085740833691
Email : Ahmadturmudzi235@yahoo.com
Nama : Muhamad Khanif
Syarifudin
NIM : 123611005
Jurusan/
Prodi : Pendidikan Fisika
TTL : Demak, 12
Februari 1994
Pendidikan : SDN 1 Kuripan, Karangawen,
Demak
SMP N 1
Mranggen, Demak
SMA N 2
Mranggen, Demak
S1 UIN Walisongo Semarang
Alamat
Alamat : Ds. Kuripan, Rt 01/03, Kec.
Karangawen, Kab. Demak
No. Telp : 085741382530
Email :
muhamadkhanif20@gmail.com
Facebook : Muhamad Khanif Syarifudin
[1] DH Burger, Perubaha-perubahnan
Struktur Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1983), hlm 11.
[3] Hans
Antlov dan sven cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah
otoriter, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. x-xi
[4] Hans
Antlov dan sven cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter,
hlm. 214
[5] Hans Antlov dan Sven
Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm.
xii-xiii
[6] Hans Antlov dan Sven
Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm.
xiii
[7] Hans Antlov dan Sven
Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm.
30-31
[8] Hans Antlov dan Sven
Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm.
xvi
[9] Hans Antlov dan Sven
Cederroth, kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm.
xvii-xiii
[12] Franz Magniz, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi
Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm.
31.
[15] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah
Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 119-121.
[16] Abdul Jamil,Darori Amin,
dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:Gama Media, 2000), hlm. 209.