Translate

Wednesday, December 2, 2015

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK POLITIK

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
PADA ASPEK POLITIK

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Rikza Chamami, M.SI



Disusun:
Ahmad Turmudzi                                (113611016)
Muhamad Khanif Syarifudin              (123611005)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
PADA ASPEK POLITIK
I.                   PENDAHULUAN
Orang jawa adalah orang yang religius, sejarah membuktian bahwa sejak sebelum islam datang ke jawa mereka sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan meninggalkan tempat-tempat pemujaan, misalnya candi-candi bagi umat hindu dan masjid-masjid bagi umat islam.
Islam masuk ke Jawa dengan cara damai tanpa adanya unsur kekerasan. Salah satu teori tentang masuknya Islam yang lain adalah bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur Gujarat yang memiliki nuansa mistik sebagaimana kecenderungan orang Jawa. Dengan melihat kedua teori tersebut dapat dimaknai bahwa Islam sangat mudah diterima di Jawa. Islam di Jawa juga mempengaruhi berbagai bidang, semisal politik.
Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjuruskan pada kegiatan umat untuk usaha mendukung dan melaksanakan syari’at Allah SWT. Melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari politik yang dijalankan oleh para penguasa kerajaan pada masa itu masyarakat jawa juga mengalami perubahan struktur yang mana perubahan itu dibagi menjadi empat tingkatan yaitu para raja, bupati, kepala desa dan rakyat jelata.
Raja mempunyai kedudukan yang tertinggi, raja berkuasa karena ia dianugerahi (wahyu khusus bagi calon raja) oleh Tuhan yang dinyatakan dalam bentuk cahaya. Hal ini kemudian menyebabkan orang jawa memilih pemimpin bukan atas dasar rasional tetapi emosional. Oleh karena itu kharisma lebih penting daripada kemampuan dalam memimpin. Wajar jika pemimpin kharismatik lebih disukai daripada pemimpin yang rasional.[1]

II.                PERMASALAHAN
A.    Bagaimana corak politik jawa sebelum kedatangan islam?
B.     Bagaimana proses kedatangan Islam dan pengaruhnya terhadap politik?
C.     Bagaimana budaya politik Jawa?
D.    Bagaimana Interrelasi politik Jawa dengan Islam?


III.             PEMBAHASAN
A.    Corak politik jawa sebelum kedatangan islam
H. Burger dalam bukunya  perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat jawa menulis bahwa struktur masyarakat jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata. raj menjadi kedudukan tertinggi.
Dalam Babad Tanah Jawa ditemuan apa dan siapa raja seperti yang diterangkan oleh pangeran puger (paku buwono I), dimana segala sesuatu ditanah jawa, bumi tempat hidup, air yang diminum, rumput, daun, dan lain-lain yang ada dibumi adalah milik raja. Raja adalah wakil atau penjelmaan tuhan. untuk lebih meyakinkan diri bahwa kedudukannya adalah sah dan aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya dan yang dapat menjadi sumber kesaktian bagi dirinya dan kewibawaan bagi pemerintahnya. Raja berkuasa karena ia dianugerahi wahyu kedaton (wahyu khusus bagi calon raja) oleh tuhan, yang katanya dinyatakan dalam bentuk cahaya.[2]
Melihat begitu besar kekuasaan raja, maka para pujangga menyebutnya gung binathara, bahu dendha nyakrawati (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). maka dari itu raja dikatakan wenang wisesa (amisesa) ing sanagiri (berkuasa diseluruh negeri). menurut doktrin atau konsep kekuasaan jawa, raja berkuasa mulak. tetapi padanya terdapat tanggung jawab raja itu dalam kalimat berbudi bawa laksana, ambeg adil para marta (meluap budi luhurnya, bersikap adil terhadap sesama). Dalam perkataan lain raja anjaga tata tentreming praja ( menjaga supaya hidup teratur, sementara rakyat dapat hidup dengan tentram).[3]
Inilah yang kemudian menyebabkan orang jawa memilih memimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. oleh kerena itu, kharisma lebih penting dari pada kemampuan.[4]
Mataram sering disebut kerajaan feudal. Masyarakat feudal adalah masyarakat yang tersusun berdasarkan pemilikan tanah yang luas. Pemilik tanah yang luas adalah raja (maharaja atau kaisar). Kalau ia tak mau kehilangan seluruh tanah miliknya, ia harus mau membagi-bagi tanahnya dengan orang lain, yang dapat diperintah dalam ikatan feudal, penguasa atasan atau tuan feudal, membagikan (memberikan) sebagian tanah miliknya kepada raja atau penguasa bawahan yang disebut bupati. Sebagai imbalannya raja bawahan memberikan kesetiaan kepada raja atasan, antara lain dalam bentuk pasukan dan upeti. Kalau raja atasan melakukan gerakan ekspansi, maka raja bawahan dengan pasukannnya, mengikuti. Untuk mengerjakan tanah, raja bawahan menyewakan tanah itu kepada petani, dapat diserahkan kepada lurah atau bekel.[5]
Dalam sejarah mataram terdapat ajaran atau doktrin raja yang binathara, bahu dhendha nyakrawati. berbudi bawa laksana, ambeg adil paramatha. Menurut konsep kekuasaan jawa kalau konsep itu dipraktekkan secara utuh, meski kerajaan raja itu absolut, tidaklah menjadi beban ketidakadilan bagi rakyat. Namun karena konsep kepemimpinan yang ada corak absolut, kekuasaan raja-raja mataram juga absolut.[6]
Kekuasaan politik dan status yang dimiliki oleh bupati jawa mengalami puncak perkembangannya selama periode kertasura dikerajaan mataram. di mata penguasa kolonial para birokrat itu adalah pemimpin rakyat, yaitu mereka yang memegang kekeuasaan politik yang sebenarnya. terbukti disini kita memiliki birokrasi patrimonial. Indikator birokrasi demikian itu adalah bahwa penguasa lokal bukan hanya pengikut dari pemegang penguasaan pusat secara pribadi, melainkan juga memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. ini meliputi bukan hanya mereka yang ada pertalian darah, melainkan juga pertalian ipar. Struktur birokrasi yang demikian itu adalah instrumental bagi penguasa pusat karena kepatuhan penguasa lokal selalut terjamin. Akibatnya, polotik lokal sangat dipengaruhi oleh perjuangan kekeuasan pusat.[7]
Suatu hal yang menarik dalam sejarah mataram ialah tidak pernah ada kejadian pergantian tahta pada waktu raja yang mendahului masih hidup. itu bererti semua raja memerintah sampai meninggal.[8]
Salah satu ciri kekeuasaan raja besar adalah luas wilayah kerajaan. dalam bahasa jawa dikatakan ageng negarinipun, wiyar jajahanipun (besar negaranya, luas jajahannya). Dalam budaya mataram rakyat (penduduk) dikenal sebagai kawulo dalem (hamba raja). Raja berwenang mewajibkan semua pemuda berperang sebagai prajuritnya. Dalam birokrasi kerajaan sudah pasti raja menjadi puncak dari piramida kekuasaan. Semua pejabat kerajaan dibawah raja disebut abdi dalem (pegawai raja). Birokrasi itu ada yang menguasai keperluan raja dan keluargannya. Pembesarnya adalah patih lebet (patih dalem).  Lainyya adalah birokrasi itu ada yang menguasai hal-ihwal penyelenggaraan Negara. pembesarnya adalah patih njawi (patih luar).
Patih luar atas nama raja juga membawahi para bupati. Ditingkat kabupaten ada juga patih yang memimpin birokrasi kabupaten. Birokrasi kabupaten sesungguhnya bukan bawahan raja, melainkan bawahan bupati.[9]
Orang jawa adalah orang yang religius. Sejarah membuktikan bahwa sejak sebelum islam datang ke jawa, mereka sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan selalu meninggalkan tempat-tempat pemujaan. Sebagai makhluk ciptaan tuhan, orang jawa harus melaksanakan trisila, yaitu sadar, percaya, dan mituhu. [10]
Orang yang mempunyai sikap hidup yang feodalistis. mereka sangat hormat dengan keluarga pangeran, terhadap abdi dalem. disamping itu orang jawa memiliki rasa bangga terhadap kebudayaan nenek, khususnya kebudayaan keraton.[11]
B.     Proses Kedatangan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Politik
Sebagaimana yang ditulis oleh Frans Magnis Suseno menulis bahwa waktu Marcopolo dengan ayah serta pamannya tinggal beberapa bulan di Sumatera Utara utusan Kubali Khan pada tahun 1292, ia mencatat bahwa sebuah kota pesisir yang bernama Perlak baru saja memeluk agama Islam. Pada tahun 1414 kerajaan Malaka yang didirikan di pantai barat Malaya pada abad XIV masuk agama Islam. Kesultanan Malaka menjadi pusat penyebaran agama Islam sampai direbut oleh kaum Portugis pada tahun 1511. Pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat, juga orang Jawa yang berkedudukan di Malaka, membawa agama Islam ke kota-kota pelabuhan pantai utara pulau Jawa. Makam muslim pertama di Jawa berasal dari tahun 1419. Pada saat yang sama kekuasaan Majapahit semakin merosot. Penguasa-penguasa kota pesisir Utara seperti Cirebon, Tuban, Jepara, Gresik dan kemudian di Madiun memeluk agam Islam.[12]
Agama Islam tanpa kegoncangan-kegoncangan besar dapat diterima dan diintegrasikan kedalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Kepercayaan baru mendapat pewaris-pewaris penting dalam diri kyai-kyai dari kaum ulama. Mereka mempertahankan sebagian besar budaya Hindu-Jawa (dalam tradisi Jawa pewarta-pewarta agama Islam, para wali, bahkan sebagian dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan) dan ciri-ciri agama islam mencocokkannya tanpa kesulitan kedalam pandangan dunia Jawa, kebudayaan itu semula terbatas pada kota-kota utara Jawa, tetapi lama kelamaan melalui pedagang-pedagang juga mulai berakar dalam kota-kota lain dan akhirnya juga dibeberapa daerah pedalaman Jawa.
Pada akhir abad XVIII hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling bersar adalah kota-kota pesisir utara, disitulah titik berat keberadaan santri juga semua kota dipedalaman Jawa terdapat kampung-kampung santri. Kebudayaan santri tersebut berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Walaupun keraton secara resmi memeluk agama Islam tetapi dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol. Keraton-keraton itu menjadi pusat kebudayaan klasik dengan tarian-tarian dan pertunjukan wayang dengan gamelan dan ritual keagamaan yang memang diadakan pada hari-hari Islam.[13]
C.    Budaya Politik Jawa
Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:
1.      Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan diri atau cenderung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.
Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.
2.      Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.
Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.
3.      Konsep Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain.
Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58).[14]
D.    Interrelasi Politik Jawa dengan Islam
Simbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada gelar raja-raja Jawa Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, Tetunggul Kalifatul Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya. Gelar Ratu Tetunggul Khalifatullah dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada masa transisi antara dari kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak.[15] Sunan giri berkuasa dalam keadaan vakum.
Pada masa ini tidak ada pemimpin yang berdaulat, baik dari raja hindu maupun islam. Kerajaan majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan majapahit tahun 1478 M oleh serangan seorang raja Grindera wardhanadan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam yang permanen yaitu raden fatah, dialah raja dari kerajaan islam Demak.[16]
Ketika sunan Giri hanya mengantarkan keadaan transisi menuju berdirinya keadaan islam demak. Buktinya dia hanya berkuasa 40 hari setelah keadaan mapan kekuasaan diberikan kepada Raden Fatah yang masih keturunan raja Brawijaya Kertabumi. Jadi jika kemudian para wali yang tampil sebagai penguasa Negara atau pemimpin politik itu hanya bermotivasikan “yekti mungam rihayu” bukan tujuan dan tugas pokok mereka. Sebagaimana Nabi Muhammad menjadi kepala Negara disamping menjadi rosul. Tugas wajib beliau adalah menyampaikan risalah bukan pemimpin politik adapun kalau kemudian beliau diangkat sebagai pemimpin Negara adalah karena kemampuan beliau dalam memimpin diakui oleh umat, baik muslim maupun non muslim ketik itu.
Simbol sinkretisme politik islam jawa juga terdapat pada raja-raja jawa yang dipegang Sri Sultan Hamengkobuwono selain sebagai raja (kekuasaan politik) juga sebagai sayidin panatagama (pemimpin agama). Dengan demikian seorang raja juga islam karena tidak mungkin non islam menjadi sayidin panatagama, disini adalah penata agama untuk islam. Inilah strategi politik jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses  Islamisasi dengan cara yang amatarif, cultural, walaupun sinkretis.[17]




IV.             KESIMPULAN
Dalam perpolitikan nasional Indonesia sinkretisme politik islam jawa tetap berlangsung, symbol- symbol dan istilah jawa menjadi symbol-symbol poltik nasional. Budaya politik jawa mempunyai sikap-sikap, adapun sikap-sikap itu antara lain:
1.      Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan diri atau cenderung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah atersinggung.
2.      Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer.
3.      Konsep Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaaan makalah selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Antlov, Hans . Cederroth , Sven, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Burger, DH.Perubaha-perubahnan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1983.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Jamil, Abdul.Amin, Darori. dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2000.
Magniz, Franz.Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Saksono, Widji.Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995.















BIODATA PEMAKALAH

Nama                           : Ahmad Turmudzi
NIM                            : 113611016
Jurusan/ Prodi             : Pendidikan Fisika
TTL                             : Demak,12 Februari 1992
Pendidikan                  : MIN Kedungwaru Lor, Karanganyar, Demak
  SMP N 1 Karanganyar, Demak
  MAN 2 Kudus, Prambatan Lor, Kaliwungu Kudus
                                     S1 UIN Walisongo Semarang
Alamat                                    : Jl. Anggrek Kedungwaru Lor
No. Telp                      : 085740833691
Email                           : Ahmadturmudzi235@yahoo.com


Nama                           : Muhamad Khanif Syarifudin
NIM                            : 123611005
Jurusan/ Prodi             : Pendidikan Fisika
TTL                             : Demak, 12 Februari 1994
Pendidikan                  : SDN 1 Kuripan, Karangawen, Demak
                                      SMP N 1 Mranggen, Demak
  SMA N 2 Mranggen, Demak
  S1 UIN Walisongo Semarang
Alamat                        Alamat                         : Ds. Kuripan, Rt 01/03, Kec. Karangawen, Kab. Demak
No. Telp                      : 085741382530
Email                           : muhamadkhanif20@gmail.com
Facebook                     : Muhamad Khanif Syarifudin



[1] DH Burger, Perubaha-perubahnan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1983), hlm 11.

[2] Darori Amin, Islam dan kebudayaan jawa, (Yaogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 213
[3] Hans Antlov dan sven cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. x-xi
[4] Hans Antlov dan sven cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. 214
[5] Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. xii-xiii
[6] Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. xiii
[7] Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. 30-31
[8] Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. xvi
[9] Hans Antlov dan Sven Cederroth, kepemimpinan jawa: perintah halus, pemerintah otoriter, hlm. xvii-xiii
[10] Darori Amin, Islam dan kebudayaan jawa, hlm.214
[11] Darori Amin, Islam dan kebudayaan jawa, hlm. 215-216
[12] Franz Magniz, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 31.
[13] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 209.
[14] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 78-90.
[15] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 119-121.
[16] Abdul Jamil,Darori Amin, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:Gama Media, 2000), hlm. 209.
[17] Abdul Jamil,Darori Amin, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 219.